Lika-Liku Proyek Wastafel di Aceh

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | Banda Aceh, Kemitraan – Hujan pagi itu, Kamis (9/12/2021), nyaris membuat rencana peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Kota Banda Aceh batal. Hujan membuat jalan basah dan licin. Bahkan, bisa memicu banjir dan menghambat aktivitas warga. Bisa-bisa, tidak ada yang datang ke acara kami. Sebagai panitia, bukan ini yang kami harapkan.

Beruntung, pukul 10.00 hujan mereda. Kami bernapas lega. Peserta mulai berdatangan ke kegiatan kami yang digelar di sebuah kafe. Acara itu diinisiasi oleh Gerak Aceh, sebuah organisasi anti korupsi. Diskusi berjudul “Demokrasi Tanpa Korupsi” itu menghadirkan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kota Banda Aceh.

Saya dinobatkan menjadi fasilitator karena dianggap menguasai isu anti korupsi, khususnya korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ). PBJ merupakan sektor korupsi terbesar di Aceh. Pengetahuan tentang isu ini saya dapatan ketika menjadi anggota Komite Pemantauan PBJ Aceh sejak Mei 2021.

Dalam forum itu, saya memaparkan pengadaan barang dan jasa, khususnya proyek wastafel yang telah merugikan negara pada masa sulit pandemi covid -19. Berita tentang temuan kami bisa dibaca di sejumlah media, seperti di https://www.kompas.id/baca/desk/2021/12/09/keterlibatan-milenial-aceh- dalam-isu-antikorupsi-butuh-dukungan/.

Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menjabarkan lika-liku pemantauan yang kami lakukan sejak Agustus 2021. Awalnya, kami menelusuri beberapa kanal-kanal pemerintah untuk mendapatkan informasi awal pengadaan barang dan jasa. Kami juga mengunjungi kanal Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE), Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (SiRUP LKPP), Sistem Informasi Penyedia Kinerja Penyedia (SIKaP-LKPP), Kanal Organisasi Masyarakat Sipil, seperti Internasional Corruption Watch (ICW) juga tidak luput dari pencarian kami.

Kami mengecek nama pembeli (SKPD), judul Proyek, nilai kontrak, pagu anggaran, kategori pekerjaaan, lokasi pelaksanaan, jenis prosedur pemilihan, jumlah penawaran, tanggal pemberian kontrak, kode tender, kode Rencana Umum Pengadaaan (RUP), juga waktu pemilihan dan sumber dana. Setelah itu, kami mendalami perusahaan pemenang proyek.

Kami mencoba mengorek rekam jejak perusahaan dalam mengerjakan proyek sebelumnya, alamat perusahaan, pemilik perusahaan, dan jabatannya. Pencarian ini penting untuk mengetahui ada tidaknya dugaan pelanggaran atau persekongkolan vertikal dan horizontal, monopoli, konflik kepentingan, serta koneksi politik perusahaan dengan pemangku kebijakan.

Akhirnya, kami mendapatkan informasi proyek wastafel ini menelan anggaran Rp.44.000.958.000. Proyek ini dibangun di 390 titik sekolah dengan metode pengadaan langsung di Provinsi Aceh. Setiap sekolah mendapatkan 11 unit wastafel dan satu unit tempat penampungan air. Proyek ini merupakan salah satu perwujudan disiplin protokol kesehatan seiring kembalinya siswa ke sekolah.

Pembangunan wastafel dengan anggaran fantastis ini mendorong saya untuk mendalami, apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh melalui satuan kerja perangkat daerah Aceh (SKPA) Dinas pendidikan Aceh ini sudah tepat sasaran? Lalu, bisakah proyek ini memutus mata rantai penularan Covid-19?

Setelah kami turun ke lapangan, hasilnya sangat mengejutkan. Terdapat sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek. Pembangunan wastafel dikerjakan asal-asalan, keran-keran air rusak, air tidak mengalir, dan pipa sambungan tidak sepenuhnya terpasang dengan wastafel. Bahkan, ada wastafel yang rusak total, tidak bisa digunakan. Observasi langsung saya lakukan di Sekolah menengah atas (SMA) 1 dan SMA 3 di Banda Aceh, serta SMA 1 dan SMA Peusangan Selatan di Kabupaten Bireun.

Temuan lainnya, tidak sedikit siswa sekolah yang tidak menerapkan protokol kesehatan dalam masa Pandemi Covid-19. Mereka tidak memakai masker, tak menjaga jarak, dan tidak mencuci tangan ketika masuk ke ruangan kelas.

“Siswa-siswi di sekolah kami agak acuh (tak acuh) mencuci tangan. Di sini sekolah pun seperti biasa, tidak ada belajar dari rumah. Kami sekolah tiap hari, seperti tidak ada Covid-19” ujar seorang guru SMA 1 Peusangan Selatan Kabupaten Bireun yang enggan disebutkan namanya. Bireun merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang tidak menerapkan pembelajaran jarak jauh meski pandemi.

Artinya, proyek wastafel belum menjamin penegakan protokol kesehatan di sekolah. Di sisi lain, proyek Dinas Pendidikan Aceh dengan anggaran Rp.122.674.000 per paket dengan total 390 paket dinilai tidak wajar. Apalagi, jika berbicara kualitas proyek pembangunan yang tidak sempurna, dan tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan, sekolah harus membangun wastafel portabel yang lebih bagus dan efesien.

Proyek ini juga kurang transparan karena terindikasi tidak ada partisipasi publik. Papan pengumuman proyek di sekolah-sekolah yang saya kunjungi, misalnya, tidak tampak. Padahal, prinsip pengadaan yang dipraktikkan secara internasional harus mengutamakan efisiensi, efektifitas, persaingan sehat, keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminastif, dan akuntabel.

Berbagai temuan ini mengantarkan saya melakukan konfirmasi ke dinas pendidikan setempat terkait pembangunan proyek westafel yang dianggarkan oleh Dinas pendidikan, apakah proyek tersebut dilakukan pengawasan setelah proyek dinyatakan selesai. Saya dipertemukan dengan T. Fariyal, S.Sos, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh.

“Proyek pembangunan tempat cuci tangan wastafel untuk SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik. Tetapi, soal proyek yang dibuat asal-asalan dan wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab. Saya bukan kuasa pemegang anggaran (KPA) di dinas pendidikan,” ujarnya.

Inilah tantangan terbesar saya dalam mencari informasi proyek wastafel. Tidak semua orang yang saya wawancarai berani bicara dan terbuka tentang proyek ini. Saya menduga, ketakutan mereka karena proyek ini telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII. BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020. Kasus wastafel ini bahkan sudah ditangani Kepolisian Daerah Aceh.

Pandemi covid-19 telah menghacurkan tatanan kehidupan manusia, dari segi kesehatan, sosial, ekonomi dan pendidikan. Pandemi covid-19 masa-masa sulit bagi semua penduduk dunia, tak terkecuali anak- anak yang harus terus menuntut ilmu di berbagai sekolah di kota banda Aceh dan kabupaten Bireuen

Provinsi Aceh. Harapannya semua proyek yang dianggarkan dengan uang rakyat harus sesuai kebutuhan masyarakat di lapangan, ada perencanaan dan pengawasan yang baik dari pemerintah dan masyarakat. Proyek wastafel harusnya tidak hanya membersihkan tangan siswa, tetapi juga membersihkan Aceh dari korupsi. (*)