Kekerasan Seksual Pada Anak, Salah Siapa?

Oleh Haiyun Nisa, S. Psi, M.Psi, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Staf Pengajar Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala

Awpf.or.id | Publik Aceh bahkan nasional dikejutkan dengan banyaknya berita tentang kekerasan seksual pada anak, bahkan muncul gerakan dari masyarakat agar pemerintah memperhatikan secara serius kondisi Aceh yang masuk pada fase darurat kekerasan seksual.

Data yang disampaikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak ( UPTD PPA) Aceh mencatat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan hingga September 2021 adalah 697 kasus (https://www.liputan6.com/regional/read/4734733/697-perempuan-di-aceh-alami-kekerasan-seksual-ppa-sebut-banyak-yang-ditutupi), sementara YLBHI-LBH Banda Aceh menyampaikan bahwa sepanjang Januari-September 2021, terjadi 355 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh (https://www.liputan6.com/regional/read/4708302/setiap-18-jam-45-menit-satu-anak-di-aceh-jadi-korban-kekerasan-seksual).

Data yang disebutkan menunjukkan bahwa permasalahan kekerasan seksual pada anak tentunya memerlukan perhatian yang serius.

Sayangnya, kita baru berkoar-koar pada saat munculnya laporan kasus dan setelah itu redup kembali. Kekerasan seksual pada anak teridentifikasi terjadi di semua tingkat masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang, artinya kekerasan seksual tidak mengenal kasta, ras, status sosial ekonomi, jenis kelamin dan lainnya.
Penulis pernah menangani pelaku kekerasan seksual yang berusia anak remaja yang melakukan kekerasan pada anak dengan jenis kelamin yang sama, karena menurut mereka definisi kekerasan seksual adalah yang terjadi pada orang dengan jenis kelamin berbeda.

Hal ini menunjukkan bahwa remaja tidak paham dengan kekerasan seksual, bahkan mereka menganggap bahwa itu hanyalah candaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Veenema, dkk (2015) menujukkan bahwa terdapat empat fokus tentang kekerasan seksual pada anak yaitu sulitnya melakukan asesmen yang akurat, adanya hambatan dalam pelaporan, adanya hambatan untuk mencapai keadilan, dan munculnya persepsi yang keliru tentang kekerasan seksual sebagai fenomena baru.

Empat tema ini hendaknya menjadi perhatian bahwa ada banyak PR yang harus dilakukan. Asesmen yang akurat tentunya ditentukan oleh para professional, meliputi pendamping, aparat penegak hukum dan lainnya. Hal ini menjadi tugas penting untuk meningkatkan kapasitas para professional agar mampu melakukan tugasnya dengan benar.

Permasalahan kekerasan seksual bukanlah masalah individu, namun menjadi masalah sosial yang bersifat sistemik.
Artinya, upaya penanganan permasalahan kekerasan seksual tidak hanya berfokus pada korban/penyintas, namun ada banyak faktor yang perlu diperhatikan, karena sifatnya sangat komprehensif.

Kekerasan seksual yang terjadi pada anak berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan individu, baik fisik, psikologis, dan sosial.

Selain itu kekerasan seksual yang terjadi pada anak juga berdampak pada lingkungan keluarga dan sosial. Kekerasan seksual pada anak tentunya begitu menarik perhatian. Banyak dari kita yang memberikan komentar-komentar dan rekomendasi yang harus dilakukan oleh para pihak, tak lupa pula ada yang menyalahkan hal-hal tersebut sebagai penyebab terjadi kekerasan seksual, misalnya handphone, internet dan sebagainya.

Upaya hanya mencari kesalahan tentunya tidak akan memberikan kontribusi apapun, sehingga kita lupa hal-hal apa yang bisa dilakukan sebagai bentuk intervensi permasalahan kekerasan seksual pada anak?

Berbagai upaya pastinya telah dilakukan oleh para pihak, seperti memberikan pendampingan, penguatan kepada penyintas dan keluarganya, memberikan edukasi, hingga berupaya untuk menentukan hukuman apa yang tepat bagi pelaku sehingga dapat memiminalisir dampak panjang kekerasan seksual yang terjadi pada anak.

Namun, dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk memberikan informasi hal-hal yang dapat dilakukan terkait kekerasan seksual pada anak yang dapat dilakukan jangka pendek dan jangka panjang.

Solusi yang ditawarkan tentunya akan sangat tergantung pada kondisi anak, namun kita dapat berupaya untuk mengurangi berbagai dampak negatif penyintas kekerasan agar dapat berkembang dengan baik. Upaya jangka pendek Seluruh komponen masyarakat bertanggung jawab terhadap permasalahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak penyintas maupun anak pelaku.

Lalu bagaimana upaya yang bisa dilakukan baik sebagai upaya kuratif maupun preventif?

1. Bagi korban/penyintas:
Berikan ruang bagi penyintas untuk memahami apa yang dialami; berikan kesempatan untuk bercerita; hindarkan menjadikan penyintas sebagai objek publikasi media; hindarkan mengajukan pertanyaan secara berulang terhadap peristiwa yang terjadi.

Jika kita ingin berempati terhadap penyintas, kita juga dapat memberikan dukungan kepada keluarga agar mampu juga mendukung anak melewati peristiwa negatif tersebut. Berbagai kondisi yang membuat anak tidak nyaman juga dapat memengaruhi keterangan anak dalam proses hukum karena secara psikologis, aspek kognitif/kemampuan berpikir anak belum mampu untuk melakukan analisa denganbaik.

2. Bagi orang tua penyintas:
Orang tua hendaknya tidak menyalahkan anak , namun berikan dukungan kepada anak penyintas untuk berani menyampaikan cerita sebenarnya, namun tidak mendesak anak. Hal ini menjadi penting, karena pada umumnya pelaku kekerasan adalah orang terdekat yang menyebabkan penyintas merasa ketakutan untuk bercerita. Orang tua perlu bersikap tenang dalam menghadapi permasalahan tersebut, jika orang tua membutuhkan bantuan psikologis, maka dapat mencari bantuan dari lembaga layanan.

3. Bagi Orang Tua dan Masyarakat
Lingkungan sosial yang mengetahui terjadinya kekerasan seksual perlu bersikap bijak, tidak mengucilkan penyintas dan keluargnya, namun perlu memberikan dukungan positif. Bentuk dukungan positif yang diberikan adalah dengan tidak menjadikan kasus penyintas sebagai objek pembicaraan dan diskusi.Lalu bagaimana sebenarnya peran masyarakat untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak ?

Masyarakat perlu peka dengan kondisi sekitar, umumnya kita tidak berani menegur jika kita melihat sepasang remaja duduk berdua di atas kendaraan bermotor, atau duduk di tempat sepi, padahal kita dapat mencegah agar tidak terjadi perilaku yang menyimpang. Bagi orang tua juga memiliki tugas untuk senantiasa memantau aktivitas anak, Upaya jangka panjang

1. Bagi orang tua
Penting sekali bagi orang tua untuk memberikan edukasi yang tepat bagi anak sebagai bentuk perlindungan dari kekerasan seksual. Edukasi ini menjadi penting karena kehidupan saat ini diwarnai dengan teknologi dalam genggaman yang memberikan informasi apapun dalam waktu singkat tanpa diketahui informasi tersebut benar atau tidak. Orang tua merupakan edukator paling tepat, tentunya dengan perilaku orang tua yang tepat juga karena orang tua merupakan model bagi anak.

2. Bagi masyarakat
Masyarakat dan lingkungan sosial berkontribusi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, yaitu dengan secara bersama-sama melibatkan anak khususnya remaja dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan. Menghidupkan kembali masjid yang ramah anak tentunya memberikan dampak yang signifikan. Saling peduli dengan lingkungan sekitar akan membentuk masyarakat menjadi pihak yang juga bertanggung jawab terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada anak. (*)

Artiel ini Telah Tayang di Serambinews.com dengan Judul : Kekerasan Seksual Pada Anak, Salah Siapa?