Putusan Bebas Pelaku Pemerkosaan Anak Langkah Mundur Perlindungan Anak di Aceh

www.awpf.or.id | Banda Aceh – Putusan Mahkamah Syar’iah Aceh yang membebaskan pelaku pemerkosaan terhadap anak yang sebelumnya telah divonis hukuman 200 bulan penjara oleh Mahkamah Syar’iah Jantho, merupakan “penghianatan” bagi masyarakat Aceh yang sedang berjuang menghentikan kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan termasuk anak yang terus meningkat di Aceh. Putusan bebas bagi pelaku pemerkosaan bukan saja mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga berpotensi mengimpunitas pelaku pemerkosaan dan menghambat proses pemulihan korban.

Kami, Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual, menyayangkan tidak digunakannya perspektif hak anak dan diabaikannya prinsip perlindungan anak dalam pemeriksaan perkara ini pada tingkat Banding oleh Majelis Hakim pada Mahkamah Syariah Aceh (selanjutnya disebut Majelis Hakim Banding), bahkan secara subjektif telah menyimpulkan secara salah fakta-fakta yang terungkap pada persidangan tingkat pertama di Mahkamah Syar’iyah Jantho. Penyimpulan yang salah tersebut terlihat dari pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim Banding dalam putusan tersebut, antara lain:

  1. Jawaban anak korban pemerkosaan (untuk selanjutnya disebut korban) dalam bentuk anggukan dan gelengan pada persidangan tingkat pertama (meskipun relevan dengan pertanyaan yang diajukan), dianggap oleh Majelis Hakim Banding sebagai bentuk imajinasi korban tentang pemerkosaan yang dialaminya, sehingga jawaban tersebut tidak digunakan sebagai pembuktian. Anggapan ini memperlihatkan Majelis Hakim Banding sesungguhnya tidak paham tentang psikologis dan bahasa tubuh korban. Majelis Hakim Banding bahkan sudah mengambil kesimpulan yang sangat terburu- buru dan
  2. Majelis Hakim Banding juga telah mengabaikan keterangan Saksi Ahli (Psikolog) yang dihadirkan pada persidangan tingkat pertama, yang menjelaskan tentang kondisi psikis anak yang agak pendiam, sulit bercerita dan cenderung tertutup, serta pada kejiwaan anak ditemukan traumatik yang berkepanjangan tentang pemerkosaan yang dialaminya sehingga mudah cemas, ketakutan, suka melamun dan hilang rasa kepercayaan diri. Alih-alih memutuskan pemulihan terhadap korban, Majelis Hakim Banding malah berpendapat jawaban korban tidak bisa digunakan sebagai pembuktian karena korban dalam keadaan tidak stabil;
  3. Keterangan saksi-saksi yang menerima pengaduan dari anak tentang pemerkosaan yang dialaminya (yang telah dihadirkan ke persidangan tingkat pertama), oleh Majelis Hakim Banding dianggap bukan alat bukti, karena saksi-saksi tidak melihat langsung pemerkosaan tersebut. Bahkan rekaman pengaduan anak kepada saksi-saksi (yang dijadikan alat bukti pada persidangan tingkat pertama), tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Banding. Padahal mengacu kepada Pasal 1 Angka 31 Hukum Acara Jinayat dan Pasal 1 Angka 26 KUHAP, saksi juga adalah orang yang mendengar langsung tentang adanya tindak pidana. Dalam hal ini saksi telah mendengarkan langsung dari korban tentang pemerkosaan yang dialaminya, dan UU Perlindungan Anak juga melarang setiap orang membiarkan terjadinya kekerasan terhadap anak;
  4. Majelis Hakim Banding telah menyimpulkan Hasil Visum et Repertum (yang dihadirkan sebagai alat bukti pada persidangan tingkat pertama) tidak bernilai sebagai alat bukti yang sempurna untuk menetapkan Terdakwa sebagai pelaku pemerkosaan, karena meskipun hasil visum memperlihatkan ada luka robekan pada selaput dara anak yang diduga karena benturan benda tumpul namun hasil visum juga memperlihatkan tidak ada lecet, pendarahan ataupun sperma pada alat kelamin korban.

    Selain juga karena hasil visum tidak membuktikan terdakwa sebagai pelaku pemerkosaan. Majelis Hakim Banding dalam hal ini mengabaikan fakta tentang visum yang baru dilakukan 3 bulan setelah pemerkosaan terjadi, sehingga tentu hanya bekas robekan yang terlihat, sementara lecet, bekas darah apalagi sperma tentunya sudah hilang. Majelis Hakim Banding juga keliru menganggap hasil visum bisa membuktikan pelaku tindak pidana, karena visum adalah hasil pemeriksaan medis, bukan Putusan Pengadilan. Dengan mengabaikan visum sebagai alat bukti, Majelis Hakim Banding telah mengangkangi hukum acara yang

Selain persoalan di atas, kami juga menyesalkan minimnya perlindungan yang diberikan Pemerintah Daerah kepada korban selama proses peradilan berlangsung, membiarkan korban berada dalam kekuasaan dan pengaruh keluarga pelaku, bahkan diakses langsung oleh Pengacara Pelaku. Patut diduga upaya-upaya mempengaruhi dan intimidasi terhadap korban telah berlangsung pada masa-masa ini. Bahkan hingga saat ini belum ada skema yang jelas untuk pemulihan komprehensif bagi anak (korban) yang telah tidak memiliki Ibu lagi dari sejak kecil, dan saat ini ia dititipkan pada Neneknya (dari pihak Ibu) yang juga miskin.

Kami juga menyayangkan minimnya upaya pemantauan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan pengawalan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), yang telah dibiayai oleh dana publik untuk menjalankan mandatnya.

Untuk itu, kami merekomendasikan kepada:

  1. DPRA dan Gubernur Aceh, segera merevisi Qanun Jinayat dengan mencabut Pasal tentang Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual, agar pemenuhan hak-hak korban pada proses peradilan bisa diupayakan;
  2. Kejaksaan Negeri Jantho melalui Jaksa Penuntut Umum perkara ini, melakukan upaya maksimal dalam pengajuan Kasasi terhadap Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh ini kepada Mahkamah Agung RI, agar tidak menjadi preseden buruk dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap anak di Aceh;
  3. Mahkamah Agung RI melalui Hakim Agung yang memeriksa perkara ini, membatalkan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh dan menguatkan Putusan Tingkat Pertama pada Mahkamah Syar’iyah Jantho;
  4. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dinas Sosial, mengembangkan skema dukungan pemulihan yang komprehensif dengan indikator capaian yang jelas terhadap anak dan perempuan korban kekerasan dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil, guna memastikan terpenuhinya hak-hak korban. Termasuk dalam hal ini memperkuat koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus- kasus kekerasan terutama kekerasan seksual, agar proses peradilan dapat berkontribusi langsung pada pemulihan korban;
  5. Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai mekanisme independen dalam pemenuhan hak-hak anak di Aceh, termasuk tapi tidak terbatas pada melakukan pemantauan terhadap terhadap situasi pemenuhan hak-hak anak di Aceh baik dalam proses peradilan maupun di luar peradilan, dan melaporkannya secara berkala kepada publik/masyarakat;

Demikian Pernyataan Sikap dan Rekomendasi ini disampaikan, guna menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan.

Adapun narasumber yang hadie dalam acara ini diantaranya Aulianda (LBH Banda Aceh), Nursiti (Balai Syura Ureung Inong Aceh), Eva Khofifah (PKBI Aceh).

Pun demikian, Lembaga yang tergabung dalam masyarakat sipil aceh untuk penghapusan kekerasan seksual diantaranya Balai Syura, LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, PKBI Aceh, RPuK, Flower Aceh, KAPHA, SP Aceh, AWPF, LBH APIK Aceh, KSBSI Aceh. (*)