AWPF Bersama Perempuan Komunitas Peringati IWD di Tanoh Gayo

www.awpf.or.id | Redelong – Aceh Women’s for Peace Foundation bersama perempuan komunitas di Bener Meriah menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sejumlah perempuan tampak membentangkan spanduk dan beberapa alat kampanye di jalan teritit simpang 4 bandara rembele, Bener Meriah pada 8 Maret 2023.

Menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak itu di kampanyekan tepat pada memperingati hari perempuan internasioan (Internasional Women”s Day).

Tim AWPF dan Perempuan komunitas terdengar menyuarakan dengan bunyi “Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kemudian juga tampak video yang mengatakan perempuan Bener Meriah Bisa.”

Adapun makna tersirat yang terkandung dibalik kata kata tersebut menurut Irma Sari SHI adalah Alarm untuk pemangku kebijakan dan semua pihak saat ini sadar agar menghentikan segera segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Flaskback kita beberapa waktu kebelakang ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya di Aceh sudah mendekati angka merah. Maka suara perempuan hari ini harus didengar oleh pemegang kewenangan. Dan kepada orang tua juga kita harus terus memantau anaknya agar tidak menjadi korban kekerasan.

Hari ini tepat 8 maret 2023, kita team Aceh Women’s for Peace Foundation bersama perempuan Gayo di Bener Meriah kami menolak kekerasan terhadap perempuan, Zerokan segera sebelum generasi perempuan khususnya di Aceh menjadi Korban Semuanya. (*)

 


Temu Diskusi AWPF Membahas Mekanisme perlindungan bagi kelompok rentan

www.awpf.or.id | Redelong – Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) melakukan temu Diskusi dengan Kelompok Perempuan dalam rangka Upaya Menemukenali langkah dan strategi perlindungan perempuan di tingkat komunitas berlangsung aman dan tertib.

Acara yang diikuti 20 orang perempuan yang tersebar di berbagai kecamatan kabupaten Bener Meriah berpusat di Aula Shindico Homestay pada hari Senin, 6 Maret 2023.

Diskusi pertama yang dipandu oleh Irma Sari SHI (Direktur AWPF Aceh) berlangsung 2 jam lebih. Upaya yang dilakukan AWPF yang pertama adalah mendata masalah yang sering terjadi di tingkat gampong dan komunitas lingkup kabupaten Bener Meriah.

Upaya kedua, kita mendengar apa saja mekanisme perlindungan yang ada di komunitas ibu-ibu.

Pertanyaan Bu Irma juga terjawab dalam diskusi komunitas yang berlangsung. Diantara jawabannya adalah melakukan keterampilan, Seni Budaya, Olahraga, Pengajian (Remaja Masjid), dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) tingkat anak-anak.

Selanjutnya, dalam diskusi yang sangat hangat berlangsung juga terjawab terkait siapa yang melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak di komunitas? Para perwakilan kelompok komunitas juga mempresentasikan yang memberi perlindungan di komunitas diantaranya tokoh agama, aparatur gampong dan tokoh adat.

Terakhir, setelah AWPF mendata. Kita menanyakan bagaimana kita bisa membantu dan memberikan dukungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.

Hal ini juga terlihat serius dan tersahuti oleh kelompok perempuan. Gagasan ini terjawab dalam bentuk trauma healling, menyediakan dana desa untuk memfasilitasi korban pelecehan, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, menyediakan rumah singgah dan sosialisasi kekerasan perempuan, KDRT, Narkoba dengan fasilitas DANA Desa. (*)


Yulian Grasendo Pendiri Yayasan Kemaslahatan Ummat Kunjungi Kantor AWPF

Yulian Gresando Kunjungi Kantor AWPF pada Jum’at (10/02/2023)

www.awpf.or.id | Banda Aceh – Yulian Gresando beserta isti mengunjungi kantor Aceh Women’s for Peace Foundation pada sore Jum’at (10/02/2023).

kegiatan ini berlangsung diruang kerja Direktur AWPF dalam program bincang sore seputaran informasi yang sudah kita dapatkan dan capaian kedepan yang ingin kita raih.

Yulian Grasendo juga menyampaikan dirinya beserta tim sedang mengelola program Perlindungan Anak, Pendidikan dan Remaja serta Kesehatan dibawah Yayasan Kemaslahatan Ummat. dalam kesempatan ini kita berharap saling memberi dukungan dalam berbagai kegiatan yang dirancang.

Ditanya soal Pandangan Yulian terhadap AWPF?
Yulian menjawab, ini merupakan sebuah lembaga yang bagus diantara lain. dengan adanya AWPF ini kedepan agar terjawab berbagai macam persoalan.

“Terus berdedikasi dan berkarya untuk masyarakat tanpa henti. sesuatu yang baik itu memang sering dipandang sebelah mata, namun perlu diingat saat kita sudah menjadi hasil itulah balasan terbaik.”kata Yulian yang juga saat ini juga tim Unicef Aceh. (*)


Pencegahan Hoax dan Politik Uang Bagi Komunitas Perempuan Jelang Pemilu 2024

Jelang Pemilu Tahun 2024 ini, kita jangan terjebak dengan berbagai macam tawaran yang bisa merusak moral dan ketatanan masyarakat banyak.

kehidupan kita dalam bermasyarakat perlu memilah dan memposisikan diri kita sebagai salah satu diantara seribu yang menolak politik Money (uang). segala tindakan menusuk hati dan rayuan berbisa tentu dimiliki oleh orang yang berkepentingan pribadi.

buruk atau tidaknya langkah kita lakukan dalam menolak politik uang tergantung orang banyak yang menilai. setidaknya saat kita tidak mampu bersaing dalam dunia perpolitikan, kita harus bisa merawat politik yang sejati.

kalimat demi kalimat kata politik selalu menjadi korban para penjahat demokrasi. padahal menurut hemat kita kau perempuan politik adalah seni. bagaimana kita bersikap dan kapan gendrang akan dipukul itulah sejatinya politik.

hal lain politik juga kita kenal dengan istilah Poli dan taktik. jadi ada banyak cara mengkalkulasikan kata politik itu.

dalam hal ini kita mengajak kaum perempuan jangan mudah terjebak dan menolak berbagai macam bentuk “Money Politik.” (*)


AWPF Kunjungi Kampus UIN Ar-Raniry, Berikut Kesepakatannnya

AWPF Kunjungi Kampus UIN Ar-Raniry, Berikut Kepesakatannya.(*)

www.awpf.or.id | Banda Aceh – Tim AWPF berkunjung ke Kampus UIN Ar-Raniry pada Rabu, 8 Februari 2023.

Kunjungan ini dalam rangka memperkuat jejaring Antar lembaga dan membahas beberapa pokok permasalahan yang selama kita hadapi.

Dalam pembukaan diskusi, Dr.Rasyidah, M.Ag (Ketua Prodi PMI Fakultas Dakwah dan Komunikasi) menyampaikan rasa terimakasih atas kunjungan AWPF ke prodi PMI pada hari ini. Mudah-mudahan kedepan terus bisa bersilaturahmi dan sinergi dalam berbagai program yang kiranya bisa berjalan seiringan, Jelasnya.

Masih Rasyidah, Dirinya juga meminta kepada AWPF agar bisa berkolaborasi dalam hal pendidikan serta sosial. Salah satu program yang mungkin bisa kita jalankan Progam Kuliah Praktikum Lapangan (Magang) para mahasiswa.

“Kita meminta agar di AWPF juga bisa menerima beberapa mahasiswa khususnya prodi PMI untuk proses pembelajaran dalam ilmu yang sedang kita kembangkan. Kami kira AWPF juga tidak jauh berbeda dengan Prodi kita ini, pasalnya kita keduanya bekerja untuk masyarakat dan harus berada ditengah masyarakat,” Jelasnya.

Kedepan, Setelah program ini selesai, kita juga agar terus bersinergi dalam program lainnya, misal Perancangan Modul, Research, dan lainnya.

Kendati demikian, hal ini disambut baik oleh AWPF dalam diskusi yang berlangsung tersebut. Irma Sari, SHI selaku direktur Aceh Women’s for Peace Foundation menyampaikan AWPF sangat terbuka dengan siapapun. Selama ini kami juga menerima anak-anak magang dari kampus USK. Kedepan bilamana Prodi PMI UIN Ingin menempatkan mahasiswa/i untuk proses pembelajaran, kita juga akan buka ruang, Insya Allah. Kata Irma.

Selain itu, kita AWPF juga mengharapkan para ahli yang ada dalam lingkup Prodi PMI agar bisa menjadi mitra lembaga serta dimana ada permasalahan nanti kita bisa berdiskusi jauh guna terwujudnya solusi yang tidak mengesampingkan keadilan bagi perempuan.

Pasalnya kita melihat selama ini masih banyak permasalahan yang terjadi ditengah tengah masyarakat yang menyudutkan sepihak, hadirnya AWPF guna untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan tanpa memihak serta cinta kedamaian anti kekerasan.

Dengan adanya kita silaturahmi hari ini, diharapkan mampu berjalan seirama dan kolaborasi yang aktif disetiap permasalahan yang kita hadapi, Demikian Irma. (*)

AWPF Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Banda Aceh

www.awpf.or.id | Banda Aceh – Keluarga Besar Aceh Women’s for Peace Foundation Mengadakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Banda Aceh pada Senin 28/11/2022.

Kegiatan ini dipusatkan dikantor AWPF untuk tahap awal, sebelum Tim AWPF menyapa beberapa kampus di kota Banda Aceh dan Aceh Besar.

Kampanye 16 HAKTP ini bermaksud untuk menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM,

Selain itu juga mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan),

Terakhir mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Ketiga hal ini mungkin sering kita gaungkan secara bersama dalam berbagai gerakan, namun kita saat ini memastikan bahwa poin tersebut benar-benar tercapai, Jelasnya. (*)


Lika-Liku Proyek Wastafel di Aceh

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | Banda Aceh, Kemitraan – Hujan pagi itu, Kamis (9/12/2021), nyaris membuat rencana peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Kota Banda Aceh batal. Hujan membuat jalan basah dan licin. Bahkan, bisa memicu banjir dan menghambat aktivitas warga. Bisa-bisa, tidak ada yang datang ke acara kami. Sebagai panitia, bukan ini yang kami harapkan.

Beruntung, pukul 10.00 hujan mereda. Kami bernapas lega. Peserta mulai berdatangan ke kegiatan kami yang digelar di sebuah kafe. Acara itu diinisiasi oleh Gerak Aceh, sebuah organisasi anti korupsi. Diskusi berjudul “Demokrasi Tanpa Korupsi” itu menghadirkan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kota Banda Aceh.

Saya dinobatkan menjadi fasilitator karena dianggap menguasai isu anti korupsi, khususnya korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ). PBJ merupakan sektor korupsi terbesar di Aceh. Pengetahuan tentang isu ini saya dapatan ketika menjadi anggota Komite Pemantauan PBJ Aceh sejak Mei 2021.

Dalam forum itu, saya memaparkan pengadaan barang dan jasa, khususnya proyek wastafel yang telah merugikan negara pada masa sulit pandemi covid -19. Berita tentang temuan kami bisa dibaca di sejumlah media, seperti di https://www.kompas.id/baca/desk/2021/12/09/keterlibatan-milenial-aceh- dalam-isu-antikorupsi-butuh-dukungan/.

Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menjabarkan lika-liku pemantauan yang kami lakukan sejak Agustus 2021. Awalnya, kami menelusuri beberapa kanal-kanal pemerintah untuk mendapatkan informasi awal pengadaan barang dan jasa. Kami juga mengunjungi kanal Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE), Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (SiRUP LKPP), Sistem Informasi Penyedia Kinerja Penyedia (SIKaP-LKPP), Kanal Organisasi Masyarakat Sipil, seperti Internasional Corruption Watch (ICW) juga tidak luput dari pencarian kami.

Kami mengecek nama pembeli (SKPD), judul Proyek, nilai kontrak, pagu anggaran, kategori pekerjaaan, lokasi pelaksanaan, jenis prosedur pemilihan, jumlah penawaran, tanggal pemberian kontrak, kode tender, kode Rencana Umum Pengadaaan (RUP), juga waktu pemilihan dan sumber dana. Setelah itu, kami mendalami perusahaan pemenang proyek.

Kami mencoba mengorek rekam jejak perusahaan dalam mengerjakan proyek sebelumnya, alamat perusahaan, pemilik perusahaan, dan jabatannya. Pencarian ini penting untuk mengetahui ada tidaknya dugaan pelanggaran atau persekongkolan vertikal dan horizontal, monopoli, konflik kepentingan, serta koneksi politik perusahaan dengan pemangku kebijakan.

Akhirnya, kami mendapatkan informasi proyek wastafel ini menelan anggaran Rp.44.000.958.000. Proyek ini dibangun di 390 titik sekolah dengan metode pengadaan langsung di Provinsi Aceh. Setiap sekolah mendapatkan 11 unit wastafel dan satu unit tempat penampungan air. Proyek ini merupakan salah satu perwujudan disiplin protokol kesehatan seiring kembalinya siswa ke sekolah.

Pembangunan wastafel dengan anggaran fantastis ini mendorong saya untuk mendalami, apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh melalui satuan kerja perangkat daerah Aceh (SKPA) Dinas pendidikan Aceh ini sudah tepat sasaran? Lalu, bisakah proyek ini memutus mata rantai penularan Covid-19?

Setelah kami turun ke lapangan, hasilnya sangat mengejutkan. Terdapat sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek. Pembangunan wastafel dikerjakan asal-asalan, keran-keran air rusak, air tidak mengalir, dan pipa sambungan tidak sepenuhnya terpasang dengan wastafel. Bahkan, ada wastafel yang rusak total, tidak bisa digunakan. Observasi langsung saya lakukan di Sekolah menengah atas (SMA) 1 dan SMA 3 di Banda Aceh, serta SMA 1 dan SMA Peusangan Selatan di Kabupaten Bireun.

Temuan lainnya, tidak sedikit siswa sekolah yang tidak menerapkan protokol kesehatan dalam masa Pandemi Covid-19. Mereka tidak memakai masker, tak menjaga jarak, dan tidak mencuci tangan ketika masuk ke ruangan kelas.

“Siswa-siswi di sekolah kami agak acuh (tak acuh) mencuci tangan. Di sini sekolah pun seperti biasa, tidak ada belajar dari rumah. Kami sekolah tiap hari, seperti tidak ada Covid-19” ujar seorang guru SMA 1 Peusangan Selatan Kabupaten Bireun yang enggan disebutkan namanya. Bireun merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang tidak menerapkan pembelajaran jarak jauh meski pandemi.

Artinya, proyek wastafel belum menjamin penegakan protokol kesehatan di sekolah. Di sisi lain, proyek Dinas Pendidikan Aceh dengan anggaran Rp.122.674.000 per paket dengan total 390 paket dinilai tidak wajar. Apalagi, jika berbicara kualitas proyek pembangunan yang tidak sempurna, dan tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan, sekolah harus membangun wastafel portabel yang lebih bagus dan efesien.

Proyek ini juga kurang transparan karena terindikasi tidak ada partisipasi publik. Papan pengumuman proyek di sekolah-sekolah yang saya kunjungi, misalnya, tidak tampak. Padahal, prinsip pengadaan yang dipraktikkan secara internasional harus mengutamakan efisiensi, efektifitas, persaingan sehat, keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminastif, dan akuntabel.

Berbagai temuan ini mengantarkan saya melakukan konfirmasi ke dinas pendidikan setempat terkait pembangunan proyek westafel yang dianggarkan oleh Dinas pendidikan, apakah proyek tersebut dilakukan pengawasan setelah proyek dinyatakan selesai. Saya dipertemukan dengan T. Fariyal, S.Sos, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh.

“Proyek pembangunan tempat cuci tangan wastafel untuk SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik. Tetapi, soal proyek yang dibuat asal-asalan dan wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab. Saya bukan kuasa pemegang anggaran (KPA) di dinas pendidikan,” ujarnya.

Inilah tantangan terbesar saya dalam mencari informasi proyek wastafel. Tidak semua orang yang saya wawancarai berani bicara dan terbuka tentang proyek ini. Saya menduga, ketakutan mereka karena proyek ini telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII. BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020. Kasus wastafel ini bahkan sudah ditangani Kepolisian Daerah Aceh.

Pandemi covid-19 telah menghacurkan tatanan kehidupan manusia, dari segi kesehatan, sosial, ekonomi dan pendidikan. Pandemi covid-19 masa-masa sulit bagi semua penduduk dunia, tak terkecuali anak- anak yang harus terus menuntut ilmu di berbagai sekolah di kota banda Aceh dan kabupaten Bireuen

Provinsi Aceh. Harapannya semua proyek yang dianggarkan dengan uang rakyat harus sesuai kebutuhan masyarakat di lapangan, ada perencanaan dan pengawasan yang baik dari pemerintah dan masyarakat. Proyek wastafel harusnya tidak hanya membersihkan tangan siswa, tetapi juga membersihkan Aceh dari korupsi. (*)

 


Perempuan Kepala Keluarga di Banda Aceh Sulit Mengakses Bansos Covid-19

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | BANDA ACEH, KEMITRAAN – Sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, perempuan kepala keluarga di Kota Banda Aceh sangat terdampak pandemi Covid-19. Namun, mereka kesulitan mengakses bantuan sosial Covid-19 yang merupakan program pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi di tengah pandemi.

“Saya perempuan kepala keluarga yang tidak mendapatkan akses bantuan sosial dari pemerintah. Bahkan, anak-anak kami yang yatim tidak mendapatkan bantuan juga,” sebut Rosdiana, warga Desa Batoh, Kota Banda Aceh, awal januari 2022. Rosdiana adalah seorang perempuan kepala keluarga yang bekerja sebagai pedagang online. Pendapatannya tidak bisa diprediksi tiap bulannya sehingga Rosdiana

harus meminta bantuan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, tiga anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan sekolah dasar.

Nova, perempuan kepala keluarga di Desa Punge, Kota Banda Aceh, mengatakan, di daerahnya hanya orang-orang dekat kepala desa yang mendapatkan bansos. “Saya mempertanyakan tentang bantuan sosial kepada keuchik (kepala desa), kenapa saya yang seorang janda tidak mendapatkan bansos apa pun dari pemerintah. Padahal, saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan mempunyai 2 orang anak,” sebutnya.

Nova yang juga pemimpin Aliansi Inong Aceh, organisasi yang fokus pada perempuan, juga melakukan advokasi langsung terkait hal itu. Akhirnya, Nova bisa mendapatkan Bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah desa yang langsung di transfer ke rekeningnya sejumlah Rp.300.000 mulai Januari sampai desember 2021.

Perempuan kepala keluarga lainnya di Desa Ateuk Pahlawan kota Banda Aceh, Maya Sari, juga merasa berat menghadapi pandemi Covid-19. Maya tiap bulan mendapatkan uang pensiun dari almarhum suaminya yang seorang pegawai negeri sipil (PNS) sejumlah Rp.1.000.000. Namun, dana itu belum cukup memenuhi kebutuhan satu orang anak perempuannya yang sekolah di sekolah Tahfiz di kota banda Aceh.

“Saya sangat terdampak langsung dengan pendemi Covid-19 ini, akan tetapi saya tidak mendapatkan bantuan sosial (bansos) Covid dan bantuan-bantuan sosial lainnya dari pemerintah. Padahal, saat Pandemi Covid-19 saya harus ekstra menjaga kesehatan sehingga kebutuhan saya meningkat. Saya harus membeli hand sanitizer, masker dan vitamin,” ujar Maya yang sudah 13 tahun menjadi kepala keluarga.

Di Desa Ateuk Pahlawan, Banda Aceh, data penerima bansos Covid-19 berasal dari pemerintah pusat. Bansos dibagi menjadi dua, yakni dari Kementerian Sosial dan bansos yang dialokasikan dari dana gampong (dana Desa).

“Bansos dari Kementerian (Sosial) sudah ada datanya, kita tidak bisa otak-atik lagi. Sedangkan bansos dari dana desa diperuntukkan kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Kita tidak melihat apakah kepala keluarga itu laki-laki atau perempuan” ujar Kepala Urusan Pelayanan di Kantor Keuchik Ateuk pahlawan Banda Aceh, Fitri.

Dalam wawancara singkat dengan Bapak Devi Riansyah, A.KS.M.Si, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Aceh, pada tanggal 10 Januari 2022 di Banda Aceh, Ia menjelaskan bahwa bantuan sosial disalurkan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Masyarakat yang sudah mendapatkan bantuan sosial seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program keluarga Harapan (PKH), tidak akan mendapatkan bantuan sosial Covid-19 lagi. Ini dilakukan agar bantuan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Namun, perempuan kepala keluarga belum ada kekhususan sebagai penerima bansos.

Terkait dengan tidak meratanya bantuan sosial Covid-19 ini, Pemerintah seharusnya turun langsung ke lapangan untuk mengecek penyaluran bansos, terutama untuk warga terdampak, seperti perempuan kepala keluarga. “Bansos Covid-19 seharusnya bukan diberikan kepada orang yang dekat dengan aparatur desa. Pemerintah juga harus memprioritaskan perempuan kepala keluarga. Mereka rentan terdampak kemiskinan, apalagi saat pandemi,” tutur Nova.(*)


Proyek Wastafel di Aceh Belum Optimal

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | BANDA ACEH, KEMITRAAN – Proyek pembangunan wastafel yang dicanangkan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh belum berfungsi optimal. Wastafel tersebut tidak mengeluarkan air dan kerannya rusak. Padahal, publik membutuhkan sarana cuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19.

Sejumlah wastafel yang tidak bisa digunakan dengan maksimal antara lain berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Proyek tersebut bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) Aceh tahun anggaran 2020 dengan total Rp.44.000.958.000,00. Program wastafel itu terbagi atas 390 paket pengerjaan yang tersebar di berbagai sekolah.

Pengamatan penulis, wastafel di sekolah menegah atas (SMA) 1 dan SMA 3 Banda Aceh, Rabu (14/12/2021), banyak wastafel rusak dan airnya tidak mengalir. Bahkan, ada wastafel yang digunakan sebagai wadah bunga. Pihak sekolah pun belum bisa memanfaatkannya. Sekolah bahkan harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membangun tempat cuci tangan.

“Wastafel yang di bangun dinas pendidikan ada di bagian depan dan bagian dalam sekolah, tetapi tidak bisa dipakai lagi. Airnya tidak keluar, banyak wastafel yang rusak. Kran-krannya juga pada rusak. Jadi, anak-anak sekolah memakai wastafel portabel yang dibangun sekolah,” sebut seorang guru di salah satu sekolah di kota Banda Aceh yang tidak mau disebutkan namanya

Kondisi serupa ditemukan di SMA 1 kabupaten Bireun. Wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, “Di sekolah kami wastafelnya dibangun seperti asal-asalan. Tidak semua wastafel bisa dimanfaatkan dengan baik. Hanya beberapa wastafel yang bisa digunakan untuk mencuci tangan” sebut guru SMA tersebut.

Di lokasi lain, SMA 1 kecamatan Peusangan Kabupaten Bireun, wastafel seperti hanya hiasan saja, tidak dipakai untuk mencuci tangan. “Di SMA 1 Peusangan, tahun 2020 dibangun wastafel untuk cuci tangan, tetapi siswa kami tidak menggunakannya karena anak-anak disini tidak paham tentang Covid-19. Mereka acuh. Jadi alat cuci tangan memang tidak terpakai,” ujar guru di SMA 1 Peusangan.

Padahal, wastafel merupakan salah satu sarana mencuci tangan untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi. Dengan begitu, penularan Covid-19 dapat dicegah atau dikurangi.

Dalam pertemuan dengan Dinas pendidikan Aceh, dalam hal ini diwakili oleh bapak T. Fariyal. S.Sos Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh. pada tanggal 8 Desember 2021, beliau mengatakan bahwa “proyek pembangunan tempat cuci tangan Westafel untuk sekolah-sekolah SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik, tetapi soal proyek yang dibuat asal-asalan dan westafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab karena saya bukan Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) di dinas pendidikan”

Gerak Aceh, salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus untuk isu anti korupsi di Aceh, menemukan banyak wastafel sekolah yang dibangun oleh Dinas pendidikan Aceh tidak dapat digunakan karena dibangun tidak sesuai dengan standar. Temuan BPK-RI atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII.BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang Laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020, juga patut diperhatikan.

Proyek wastafel oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) Dinas Pendidikan Aceh tidak terlepas dari perubahan kebijakan pemerintah atas Perpres pengadaan barang dan jasa. Akibatnya, dari audit secara forensik maka ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp.6.000.000,00 per proyek, kemudian dikalikan dengan 390 paket pekerjaan maka ditemukan sebesar Rp.2.340.000.000,00 uang negara yang harus dikembalikan ke kas negara. Kerugian tersebut berakibat tidak berfungsinya seluruh tempat cuci tangan di sejumlah sekolah di Provinsi Aceh.

 


IMM Aceh Kolaborasi Bersama AWPF dalam Rangka Peringatan 16HAKTP

AWPF.OR.ID | BANDA ACEH – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh kolaborasi bersama yayasan perempuan Aceh untuk perdamaian atau Women’s for Peace Foundation (AWPF), dalam rangka Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).

Organisasi masyarakat sipil di Aceh yang memiliki perhatian terhadap hak azasi perempuan dan perdamaian ini melaksanakan kegiatan peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap Perempuan-perempuan di Aceh.

Hakiki, selaku ketua umum DPD IMM Aceh mengatakan, bahwa kolaborasi ini merupakan bentuk dukungan kita sebagai satu organisasi wadah mahasiswa, yang turut mendukung dalam kegiatan peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan.

“Kolaborasi ini bentuk dukungan kita bahwa IMM Aceh turut peduli terhadap berbagai isu kekerasan yang terjadi saat ini, serta kita mendorong agar peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, dapat dimaknai oleh semua kalangan yang ada di Aceh”, ungkap Hakiki kepada Situasi.id Minggu (23/10/2022).

Dengan kolaborasi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis jender sebagai isu Hak Asasi Manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Dan turut serta menggalang gerakan solidaritas terhadap setiap elemen berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM, tambahnya.

“Kompleksitas dan tantangan dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan di masa transisi pasca bencana Konflik dan Tsunami di Aceh ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama kita IMM ikut mendorong AWPF dalam menjamin perlindungan hak Perempuan-perempuan Aceh”, pungkasnya.

Perlu diketahui, AWPF didirikan pada masa transisi pasca konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia atau pasca penandatanganan MoU Perdamaian Aceh di Helsinki, Swedia. Dan disahkan sebagai satu badan hukum Yayasan melalui keputusan Mentri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI No. AHU-02101.50.10.2014 pada tanggal 3 Juni 2014.

sumber : IMM Aceh Kolaborasi Bersama AWPF dalam Rangka Peringatan 16HAKTP